Jumat, 16 Desember 2016

Renunganku hari ini

Diamlah dan Dengarkanlah Allah!
Ayub 37:1-24

Dalam Ayub 37:14 tertulis: "Berilah telinga kepada semuanya itu, hai Ayub, diamlah, dan perhatikanlah keajaiban-keajaiban Allah". Demikianlah nasihat Elihu kepada Ayub setelah dia memperlihatkan segala keperkasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Perkataan Elihu mungkin terlalu keras untuk orang sekelas Ayub, yang dinyatakan Allah sendiri sebagai pribadi yang saleh dan takut akan Allah. Namun demikian, dibalik kata-kata kerasnya, agaknya dia berupaya mengingatkan Ayub akan keterbatasan manusia dan mengajaknya untuk berdiam diri dan memerhatikan keajaiban-keajaiban yang diperlihatkan Allah.

Berdiam diri memang bukan perkara mudah. Karena berdiam diri sering tampak statis dan terlihat tidak berbuat apa-apa. Berkata-kata setidaknya membuat orang merasakan diri sebagai pengendali. Jika berdiam diri terasa dikendalikan, maka berkata-kata membuat orang merasa mengendalikan keadaan.

Bagi Elihu, berdiam diri akan memampukan manusia lebih cermat memahami alam, juga Allah

yang menciptakan semuanya itu. Berdiam diri akan membuat manusia lebih mampu mengenal Allah. Berdiam diri akan membuat dia tidak sibuk lagi dengan kata-katanya sendiri, dan akhirnya mendengar suara Allah.

Semasa hidup, Bunda Teresa pernah membagikan kisah perjumpaannya dengan seorang imam dan teolog India. Peraih hadiah Nobel perdamaian itu berkata, "Saya mengenal beliau sangat baik, dan saya berkata kepadanya, 'Romo, Anda berbicara tentang Allah sepanjang hari. Alangkah dekatnya Anda dengan Allah!' Dia menjawab, 'Saya mungkin berbicara terlalu banyak tentang Allah, tetapi saya mungkin berbicara terlalu sedikit kepada Allah.' Dan kemudian dia menjelaskan, 'Saya mungkin mengutamakan begitu banyak kata dan mungkin mengutarakan begitu banyak kata, tetapi jauh di lubuk hati saya tidak punya waktu untuk mendengarkan. Padahal dalam keheningan hatilah, Allah berbicara kepada kita.'" Ya, diamlah dan dengarkanlah Allah! Dari situ kita bisa lebih mengenal Allah dan memuliakan-Nya!

Sabtu, 03 Desember 2016

Hidup itu Singkat dan Berharga
Pengkhotbah 9:1-12

Hidup di tengah dunia berdosa penuh dengan penderitaan dan jerih payah. Belum lagi ditambah akhir hidup manusia, baik orang benar maupun orang fasik, menuju kematian (3). Hal ini merupakan pergumulan utama dari Pengkhotbah.

Pengkhotbah ingin melihat "siapa yang termasuk orang hidup mempunyai harapan, karena anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati" (4). Istilah "anjing" dalam dunia kuno merupakan binatang yang diremehkan karena hidupnya mengais sampah. Sedangkan "singa" merupakan raja rimba. Pernyataan Pengkhotbah itu mau menekankan betapa berharganya kehidupan.

Mengapa hidup sangat berharga? Bagi mereka yang hidup dalam kebebalan masih ada kesempatan untuk melakukan hal yang benar (3-4). "Orang-orang yang hidup tahu mereka akan mati, sedangkan orang yang mati tidak tahu apa-apa, tak ada upah lagi bagi mereka" (5). Artinya, orang yang hidup tahu bahwa mereka akan mati. Mereka mengerti bahwa harapan untuk mengubah "upah" mereka adalah ketika mereka masih hidup. Kesempatan itu dimungkinkan saat seseorang masih bernafas. Inilah sebabnya mengapa hidup begitu berharga dan tidak ada kata "terlambat" untuk bertobat dari perbuatan jahat.

Sedangkan orang benar menikmati hidupnya dengan keluarga yang dikasihi karena hidup ini singkat. Alasannya, "Allah sudah lama berkenan" akan perbuatan kita dan ini adalah "bahagian" kita dalam hidup dan usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari (8-9). Karena itu, kita harus sekuat tenaga melakukan segala sesuatu yang perlu dilakukan sebab tidak ada kesempatan setelah manusia meninggal (10).

Hidup sangat singkat dan berharga. Jika kita masih hidup dalam kebebalan, bertobatlah dari kefasikan kita selama ada kesempatan untuk mengubah "upah" kita di surga. Apabila kita telah hidup dengan baik, maka lakukanlah lebih baik lagi tanpa henti. Nikmatilah kehidupan yang diberikan Allah sebagai ganjaran buat kita. Jangan membuang kesempatan yang ada dalam hidup yang singkat dan berharga ini.

Jumat, 02 Desember 2016

Hiduplah Bersandar kepada Tuhan
Pengkhotbah 7:1-8:1

Jika kita adalah orang yang serius menjalani panggilan hidup sebagai orang Kristen, mungkin kita pernah mendengar nasihat orang lain, "Beragama itu baik, tetapi jangan berlebihan." Bagi sebagian orang, keseriusan menjalani hidup menurut kehendak Tuhan dianggap tindakan yang berlebihan. Hal ini juga disinggung oleh Pengkhotbah, "Janganlah terlalu saleh, janganlah perilakumu terlalu berhikmat; mengapa engkau akan membinasakan dirimu sendiri?" (16).

Pengkhotbah tidak mengajarkan kita menjalankan kehidupan rohani yang sedikit saleh, tetapi juga tidak berlaku jahat. Suam-suam kuku adalah kehidupan rohani yang dibenci oleh Allah (Why 3:15). Pengkhotbah mengerti bahwa "di bumi tidak ada orang yang saleh: yang berbuat baik dan tidak pernah berbuat dosa!" (20). Ini berarti tidak mungkin ada orang yang hidupnya saleh. Apa yang dimaksudkan oleh Pengkhotbah?

Pengkhotbah melihat kenyataan bahwa ada orang saleh yang hidupnya menderita, sedangkan orang fasik malahan mujur dalam kejahatannya (15). Ada dua kemungkinan yang terpikirkan oleh Pengkhotbah, antara lain: Pertama, ada orang yang berpikir karena kurang saleh maka hidupnya belum diberkati. Karena itu, ia berusaha keras hidup lebih saleh dengan harapan agar dirinya terhindar dari penderitaan. Kedua, ada pula orang yang berasumsi bahwa hidup saleh tiada gunanya. Lalu, ia hidup dalam kefasikan.

Bagi Pengkhotbah, kedua pemikiran di atas salah. Sebab, kesalehan hidup bukan solusi kehidupan. Kita tidak dapat mengatur masa depan, bahkan tidak dapat menyelami pekerjaan Allah (3:1-11). Karena itu, kita harus percaya kepada Tuhan, bukan kepada kesalehan diri. Jika hidup penuh kefasikan, maka perbuatan jahat akan berbalik menekan (8:6) dan kita lebih cepat menemukan kebinasaan (17).

Tuhan menghendaki kita hidup saleh dalam kehendak-Nya. Sebab, hidup ada di tangan Tuhan. Karena itu, percaya dan hiduplah bersandar kepada Tuhan, dan bukan pada kesalehan diri yang tidak sempurna